Minggu, 22 Agustus 2010

The da Vinci Code antara Fakta dan Fiksi

Pukul 12:32 tengah malam. Robert Langdon terjaga dibangun deringan telepon di sampingnya. Terdengar kabar di ujung telepon Jacques Sauniere terkapar bersimbah darah di Museum Louvre, dada Langdon bagai meledak. Entah berapa menit kemudian, seseorang datang mengetuk pintu kamarnya. Dari balik pintu yang setengah terbuka Letnan Jerom Collet menyodorkan selembar foto. Sebuah misteri. Tengah malam itu, dari Ritz Paris Hotel, keduanya menerobos malam. Dari sinilah Langdon memulai sebuah petualangan memacah teka-teki. Ia tidak sendiri, ia ditemani Sophie. Di hadapan mereka bertumpuk lapisan simbol.

Kadang melempar tanya memantul pada setiap dinding katedral dan museum tua, hingga menerobos masuk ke dalam liang lahat membaca sejarah, membedah fakta, menebak teka-teki hanya demi sebuah tujuan, yakni mengungkap misteri tentang apa yang yang akan terbaca dari mahakarya Leonardo da Vinci.
Itulah The da Vinci Code (Serambi:2005) buah karya Dan Brown yang imajinatif dan cerdas. Kepada kita ia tidak hanya melejitkan ketegangan demi ketegangan, tetapi juga ketidaktahuan dan bahkan misteri. Hingga yang tersisah di ruang rasa hanya sebuah penasaran, yang selalu mendesak nalar untuk menemukan jawabannya.

Namun keelokan The da Vinci Code ‘dibayar mahal' oleh Brown. Ia dicerca dan suatu ketika dibilang selilit (sisa makanan di celah gigi) yang menggangu kemapanan sebuah agama. Brown telah mengganggu ruang sembunyi sebuah agama besar yang mapan. Mengapa? Karena membaca The da Vinci Code seperti kita membaca sebuah sejarah yang nyaris tak terekam, sebuah sejarah yang kalah, sebuah sejarah yang ditindas.

Melalui mulut Sir Leght Teabing, Dan Brown berkisah:
"..Sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Ketika kedua budaya berseteru, yang kalah dimusnahkan dan pemenang menulis buku-buku sejarah, buku-buku yang mengagungkan alasan mereka sendiri dan menghina musuh yang kalah. Seperti yang dikatakan Napoleon ‘apakah sejarah itu, kecuali tabel yang disepakati?' menurut sifatnya, sejarah selalu merupakan cerita satu sisi' (hal. 356)

Inilah jantung The da Vinci Code yang sesungguhnya, bukan simbol-simbol, bukan kode-kode, juga bukan mahakarya Leonardo da Vinci. Tetapi sebuah fakta berupa ‘sejarah'. Sejarah adalah isi sentral The da Vinci Code. Sejarah yang demikian adalah sebuah gunung api yang aktif. Yang jika suatu saat meledak akan menimbulkan panik. Lantas lahirlah seabrek tafsiran, namun hanya dua yang mengemuka apakah ledakan itu sebagai kutukan ataukah sebuah fenomena alam? Sebuah fiksi ataukah sebuah fakta? Antara fakta dan fiksi, atau fiksi dan fakta , The da Vinci Code hadir menjadi mengejutkan. Bahwa sejarah yang kalah, yang tidak terekam dalam buku-buku sejarah akan menjadi alternatif kebenaran.

Namun sayang, The da Vinci Code terjerumus pada sebuah karya fiksi, sehingga sebuah fakta yang seharusnya terungkap berubah menjadi selentur fiksi. Dan dalam sebuah fiksi seakurat apapun angka-angka, tetap akan menjadi bumbu penyedap rasa sebuah karya.

The da Vinci Code terjebak dalam simbol-simbolnya sendiri, yang untuk memecahkannya pun tampak terasa geli. Padahal sejarah bukan simbol, tetapi sebuah fakta. Menguak simbol tidak sama dengan menguak sejarah, apalagi meluruskannya. Sebab simbol hanya sebagian dari sejarah. Menafsirkan simbol untuk membaca sebuah sejarah adalah perbuatan yang sia-sia. Sehingga melihat The da Vinci Code dari sisi sejarah ajaran agama tampak merupakan sebuah kelucuan. Sementara akan menjadi lebih elok, elegan dan bisa diterima, jika ditelisik dari sisi estetika. Di ruang estetika The da Vinci Code terasa lebih bernyawa, alurnya lebih terasa menegangkan dan Dan Brown sendiripun sudah barang tentu terhindar dari cercaan sebagai orang yang selilitan.

Dalam benak pembaca Dan Brown sungguh tidak punya nyali, atau jika punya, itu tidak lebih sebuah sensasi. Mengapa harus mengungkap fakta dengan fiksi? Mengapa fakta tidak diungkapkan dengan cara yang lebih ilmiah? Lantaran itu ‘sejarah kebenaran' yang mungkin hendak dikatakan Brown terjebak di ruang fiksi, pembaca pun terjebak terbuai.

Namun demikian Dan Brown melalui The da Vinci Code, tidak hanya telah mengajarkan sebuah cara penyajian yang mengagumkan, sebuah cara menulis kisah yang tidak hanya indah nan menantang. Tetapi juga telah menguak sedikit fakta yang dikalahkan oleh sebuah agama besar, walau fakta itu pun sulit untuk dibuktikan, karena telah terjebak di ruang fiksi.

sumber -> google

0 komentar:

Posting Komentar

tulis komentarnya yah...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites